Media Literasi Rico/Foto Kampanye Anti Kekerasan Gender
Penulis
: Rico Febriansyah/Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang
Kekerasan berbasis gender atau yang disingkat dengan KBG merupakan
istilah yang digunakan untuk mempertegas definisi dari kekerasan terhadap
perempuan, sebagaimana yang tercantum dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) No. 48 /104 yang disahkan pada 20 Desember 1993 tentang Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Disebut sebagai kekerasan berbasis
gender hal ini dikarenakan merujuk pada status gender perempuan yang subordinasi
dalam masyarakat. Hampir, semua kebudayaan, tradisi, norma dan institusi sosial
melegitimasi serta memberi lampu hijau bagi kekerasan terhadap perempuan (Umin
Kango, 2009).
Kasus kekerasan berbasis gender sudah menjadi tontonan sehari-hari
di televisi baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Terlebih di
masa pandemi covid-19 ini, dimana sangat dipengaruhi pada faktor lingkungan
yang menghendaki tetap di rumah dan ekonomi yang sedang terpuruk. Sebagaimana
Anggota tim komunikasi publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Reisa
Broto Asmoro mengatakan bahwa kasus kekerasan berbasis gender meningkat hingga
75 persen selama masa pandemi, hal tersebut berdasarkan data dari Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2A) dan Komisi Nasional (KOMNAS)
Perempuan (Kompas.com, 2020).
Maraknya terjadi kekerasan terhadap perempuan ini sangat
dipengaruhi oleh budaya patriarki. Budaya patriarki merupakan sebuah kebudayaan
yang mengutamakan kaum laki-laki, yang mana kaum laki-laki merasa dirinya
memiliki kontrol atas perempuan dan membuat perempuan dapat dikuasainya. Budaya patriarki ini berdampak negatif
terhadap perempuan, apabila nilai yang dianut dalam masyarakat bersifat
patriarki maka akan memunculkan superioritas laki-laki dihadapan perempuan
(Syahrul, 2017).
Munculnya kekerasan berbasis gender inipun tidak terlepas dari
pemahaman masyarakat terhadap kesetaraan gender. Masyarakat dipengaruhi oleh
doktrin-dokrin adat dan agama tanpa pemahaman yang holistik. Sehingga, marak
terjadi kekerasan berbasis gender ini baik dalam hubungan masyarakat,
lingkungan pendidikan, dan lingkungan keluarga itu dilakukan oleh laki-laki.
Seperti misalnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga itu lebih
memungkinkan laki-laki sebagai pelaku kekerasan dan perempuan sebagai korban
kekerasan, hal ini disebabkan stereotip bias gender (Seelau & Seelau,
2005).
Melihat semua ini rasanya diperlukan pemahaman yang lebih holistik
dan terpadu kepada masyarakat agar muncul sebuah kesadaran penuh dari seluruh
elemen masyarakat untuk memahami kesetaraan gender ini. Karena, banyak sekali
masyarakat yang tidak ikut serta melindungi para korban kekerasan berbasis
gender ini dengan alasan karena masuk pada wilayah private atau personal
korban. Padahal, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka
menciptakan lingkungan masyarakat dan pendidikan yang bebas dari kekerasan
berbasis gender baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual.
Banyaknya kasus kekerasan berbasis gender terjadi di tengah-tengah
kita mengingatkan kita akan pentingnya rasa kepedulian bersama untuk membantu
para korban kekerasan tersebut. Karena, bisa jadi itu dapat terjadi pada diri
kita sendiri, keluarga, maupun kerabat kita. Maka dari itu, jika kita menemukan
berbagai bentuk kekerasan berbasis gender baik dalam bentuk kekerasan fisik,
psikis, dan seksual maka segera laporkan kepada keluarga korban yang dapat
dipercaya atau segera hubungi organisasi yang bisa mendampingi korban dan
kemudian menggunakan #GERAKBERSAMA di media sosial. Pastikan kita tidak
melakukan kekerasan, kita mendukung dan membantu korban, kita mencari dan
menyebarkan informasi tentang kekerasan seksual dengan #GERAKBERSAMA.
Menjaga agar lingkungan sekitar kita bebas dan aman dari kekerasan berbasis
gender adalah tanggung jawab kita bersama.
REFERENSI
Kango, Umin.
2009. Bentuk-bentuk Kekerasan yang dialami Perempuan dalam Jurnal Legalitas
Vol. 2 No. 1
Kompas.com.
“Gugus Tugas: Selama Pandemi, Kekerasan Berbasis Gender Naik 75 Persen”. 10
Juli 2020. (Diakses pada 26 November 2020), dari https://nasional.kompas.com/read/2020/07/10/16473391/gugus-tugas-selama-pandemi-kekerasan-berbasis-gender-naik-75-persen
Seelau, S.M.,
& Seelau, E.P. 2005. Gender Role Stereotypes and Perceptions of
heterosexual, gay and lesbian domestic violence dalam Jurnal of Family
Violence, 20, 363-370. https://doi.org/10.1177/0886260515586370
Syahrul. 2017. Dilema Feminis sebagai Reaksi Maskulin dalam Tradisi Pernikahan Bugis Makassar dalam Jurnal AL-MAIYYAH: Media Transformasi Gender dalam Paradigma Sosial Keagamaan Vol. 10 No. 2