Membuat
sebuah resolusi dalam melakukan revolusi mental harus selalu dilakukan dalam
menyosong Indonesia Maju. Revolusi mental menjadi sebuah acuan dalam
menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul seperti yang menjadi Visi
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin saat ini. Sebuah visi memerlukan sebuah
terobosan untuk mewujudkannya sehingga diharapkan visi yang dibuat tidak hanya
menjadi khayalan belaka. Oleh karena, dalam proses mewujudkan visi Pemerintah
tersebut diperlukan sinergi kuat seluruh elemen masyarakat bersama-sama elemen
pemerintah dalam hal mewujudkan SDM unggul.
Proses
pembentukan SDM unggul dapat dilakukan melalui berbagai bidang yang mempunyai
andil besar dalam menghasilkan sistem yang mendorong terbentuknya pembangunan
karakter kuat generasi bangsa. Setidaknya, kita dapat berkaca dalam kondisi
sosio-masyarakat Indonesia yang sering terbelenggu oleh sistem. Sistem membuat
masyarakat terpenjara sehingga mau tidak mau harus melakukan segala hal yang
mengorbankan karakter etik tanpa memandang apakah hal itu baik atau buruk untuk
keluar dari sistem yang dianggap penjara baginya disebabkan menyegel dirinya
untuk berkembang.
Sistem
yang memiliki dampak besar dalam menyegel berbagai elemen masyarakat
diantaranya adalah sistem hukum dan sistem pendidikan. Sistem hukum sering
menjadikan masyarakat menengah kebawah menjadi korban karena konservatifnya
sistem yang ada. Berapa banyak kasus karena hanya ingin menerapkan sistem,
hukum harus mengabaikan prinsipnya untuk mewujudkan keadilan. Misalnya, seorang
kakek miskin yang terpaksa mencuri sebatang singkong untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya yaitu memberikan cucunya makan harus menerkam di penjara dikarenakan
dilaporkan oleh pemilik kebun singkong yang kaya tersebut ke pengadilan, alasan
klasik yang selalu dibuat adalah bahwa pada prinsipnya alasan apapun kakek
tersebut, tetaplah pencurian tidaklah dibenarkan dan merupakan tindak pidana yang
diatur di dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika, itu
merupakan penegakan prinsip lalu dimanakah etika berbangsa dan bernegara kita
yang menjadi prinsip dalam semangat pendirian Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) tercantum dalam dasar negara UUD 1945 Pasal 34 Ayat (1) yang
berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara”.
Inilah yang dimaksud menjalankan prinsip tapi menabrak hakikat prinsip itu
sendiri. Terkadang berapa banyak mereka yang berdiri sebagai praktisi harus
mengesampingkan ajaran moral mereka dahulu sebagai akademisi dengan menggangap
diri sebagai praktisi sehingga tak perlu banyak teori moral yang diterapkan dan
melupakan tujuan utama hukum yang terdiri dari kepastian, kebermanfaatan, dan
keadilan. Kemudian, menurut Prof Achmad Ali, Pakar Hukum Tata Negara, jika
terjadi benturan antara tujuan hukum tersebut maka harus mendahulukan hal yang
paling prinsipil yaitu keadilan dan diperkuat dengan teori hukum Aristoteles
yang mengatakan bahwa “Mahkota Hukum itu Keadilan”. Oleh sebab itu,
dalam proses penguatan sistem sangat dipengaruhi oleh kualitas yang menjalankan
sistem yaitu SDM yang berkecimpung di sistem hukum tersebut. Maka, benarlah apa
yang dikatakan oleh Prof Taverne “Berikan kepadaku jaksa dan hakim yang
baik, maka dengan hukum yang burukpun saya dapat membuat putusan yang baik”.
Selain
itu juga, dalam menatap wajah SDM Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem
pendidikan Indonesia yang saat ini sedang mengalami proses berkali-kali
reinkarnasi sistem. Dalam proses pembentukan sistem tersebut sebetulnya
memiliki koneksi pada pembentukan SDM unggul tersebut. Tetapi melihat realita
yang sudah terjadi beberapa banyak tenaga pengajar yang tidak bermoral seperti
melakukan tindak asusila kepada siswa atau siswinya, hal ini sangatlah miris.
Padahal seharusnya yang menjalankan sistem harus dapat memberikan pengaruh
kepada sistem yang sudah dianggap cacat tapi malah melakukan tindakan yang
memperburuk sistem yang sudah buruk. Oleh sebab itu, dalam proses menatap SDM
tidak cukup hanya melihat kepada permasalahan sistem tapi juga membenah SDM
yang berkecimpung di sistem pendidikan tersebut. Oleh karena itu, pendidikan
hadir untuk membentuk karakter yang baik tidak hanya intelektual yang hebat. Karena,
karakter yang kuat itu lebih sulit dibentuk dibandingkan intelektual yang baik.
Seperti yang dikatan John Luther “Karakter yang baik adalah lebih patut
dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah.
Karakter yang baik sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus
membangunnya sedikit demi sedikit dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan
usaha keras”. Maka, dalam proses pembentukan karakter yang baik kepada
murid seyogianya seorang pendidik harus lebih dahulu memiliki karakter yang
baik ini. Karena seorang pendidik merupakan teladan bagi yang didiknya.
Menatap
wajah baru SDM Indonesia di Tahun Baru ini, maka setidaknya harus dilakukan
dengan proses perbaikan sub-sistem kemudian sistem karena dengan, sub-sistem
yang baik akan dapat juga menjalankan sistem dengan baik namun sebaliknya, jika
sistemnya baik dengan sub-sitem yang buruk maka belum tentu dapat menjalankan
sistem itu dengan baik. Maka resolusi di tahun baru, diperlukan agenda baru
yang lebih konstruktif dalam mewujudkan visi pemerintah yaitu mencetak SDM
unggul, karena dalam mewujudkan visi tersebut diperlukan sebuah kesadaran diri
bagi kita semua dalam melakukan reformatur nilai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jangan hanya menuntut sistem yang baik, tetapi kita sendiri sebagai yang akan
menjalankan sistem tidak mau berbenah menjadi baik. Maka, dalam revolusi
mental, bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang baru di tahun yang baru
dengan melakukan perubahan yang baru sehingga majunya peradaban bangsa kita
tidak statis tetapi akan mengalami kenaikan drastis dalam segala segi kehidupan
sosial, ekonomi, politik, hukum, maupun pendidikan karena di era globalisasi
saat ini, suatu bangsa dituntut dapat bersaing, untuk bersaing maka diperlukan
sebuah kesiapan untuk menghadapinya.
-2020-
RICO, PLG©
-2020-
RICO, PLG©